Samarinda, WaraWiri.net - Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI melakukan monitoring atau tindak tanjut Pemerintah atas Keputusan DPD RI Nomor 53/DPD RI/V/2020-2021, tentang Rekomendasi DPD RI Atas Hasil Pemantauan Dan Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Dan Peraturan Daerah, Tentang Implementasi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja di daerah terkait kebijakan daerah mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Hal ini merupakan rangkaian mekanisme dari tugas yang diamanatkan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Ketua BULD, Ir. Stefanus B.A.N. Liow, M.AP menyatakan bahwa DPD RI memaknai wewenang dan tugas baru ini tidak dalam kerangka memperpanjang mata rantai pembentukan peraturan daerah, yang akan mempersulit daerah.
DPD RI justru hadir untuk menjembatani kepentingan daerah apabila terdapat kendala dalam proses pembentukan peraturan daerah.
Ia menambahkan DPD RI juga memposisikan diri untuk memberikan penguatan kepada daerah dalam kerangka harmonisasi legislasi pusat-daerah.
“Jadi BULD DPD RI mendorong agar peraturan daerah dapat sejalan dengan regulasi yang ditetapkan oleh pusat, dan sebaliknya, regulasi yang ditetapkan pusat mengakomodir kepentingan daerah,” Stefanus di Samarinda, Kalimantan Timur, Jumat (21/02/2025).
Menurut Senator asal Sulawesi Utara ini, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya, termasuk PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, membawa perubahan signifikan terhadap kewenangan daerah dalam penyusunan RTRW.
Penyesuaian perda RTRW dengan kebijakan nasional masih menghadapi berbagai tantangan, seperti ketidaksesuaian regulasi antara pusat dan daerah, tumpang tindih aturan dengan kebijakan sektoral lainnya, serta minimnya sosialisasi kepada pemerintah daerah.
“Penarikan kewenangan perizinan berusaha ke pusat berpotensi mengurangi peran daerah dalam mengelola tata ruang dan menghadapi dampak alih fungsi lahan untuk investasi,” tuturnya.
Seperti diketahui, DPD RI pada bulan Juli 2021 telah menghasilkan Keputusan DPD RI Nomor 53/DPDRI/V/2020-2021 yang merekomendasikan percepatan penyusunan pedoman teknis dan regulasi pendukung agar daerah dapat menyesuaikan RTRW sesuai aturan pusat.
Selain itu, diperlukan penguatan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah guna memastikan harmonisasi kebijakan tata ruang.
Perlindungan terhadap kearifan lokal dan masyarakat adat juga menjadi perhatian utama agar hak atas ruang dan lingkungan tetap terjaga dalam implementasi kebijakan ini.
“Dialog ini diselenggarakan oleh BULD DPD RI untuk mengetahui sejauh mana Pemerintah menindaklanjuti rekomendasi tersebut, serta bagaimana implementasinya dan dampaknya bagi daerah, khususnya di Provinsi Kalimantan Timur,” tambah Stefanus.
Dialog menghadirkan tiga narasumber yakni Dr. Hairan, S.H., MH., Ir. Citra Anggita, S.T., MT., IPM., dan Nurani Citra Adran.
Dialog juga menghadirkan penanggap yakni Direktur Perencanaan Tata Ruang Nasional, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nuki Harniati, dan hadir pula Kepala Kanwil BPN Provinsi Kaltimtara, Deni Ahmad Hidayat, S.H., M.H.
Di kesempatan yang sama, Pakar Hukum Tata Ruang Wilayah Hairan mengatakan bahwa pasca berlakunya PP21/21 penyelenggaraan TR berimplikasi banyak karena harus diintegrasikan dengan perizinan berusaha, sementara kewenangan kabupaten sudah tidak ada lagi.
Kasus di Kalimantan Timur adalah bahwa wilayah perbatasan di Kabupaten Mahakam Hulu belum diatur dalam RDTR.
“Di perbatasan Mahakam Hulu, sudah hampir 10 tahun infrastrukturnya belum tuntas di sana. Masyarakatnya kalau mau belanja perlu 2 hari 2 malam. Dan banyak penyelundupan iklan seblak sebagai komoditi ikan termahal,” tegasnya.
Terkait tata guna tanah di daerah, Hairan menjelaskan bahwa kewenangan daerah sangat dibatasi dan pertambangan sudah tidak ada lagi.
Selain itu, perkebunan masih menggunakan peraturan yang lama, tetapi bersinggungan dengan masyarakat adat.
“Dulu RDTR diatur dengan Perda, sekarang sudah tepat dengan Perkada. Terkait perizinan, saat ini ada 2 PP yang mengaturnya yakni PP 5/21 dan PP 6/21. Izin yang diberikan harus berkesesuaian dengan pemanfaatan ruang,” imbuh Hairan.
Pakar Pengembangan Wilayah/Tata Ruang Wilayah Citra Anggita memaparkan secara umum menyampaikan bagaimana implikasi tata ruang setelah UU Cipta Kerja.
Menurutnya yang menarik adalah tantangan ke depan, yakni harus ada perlindungan terhadap hak masyarakat adat, dan mengarusutamakan kearifan lokal dalam setiap kebijakan.
“Intinya tata ruang ada untuk peningkatan ekosistem investasi,” ujarnya.
Kepala Bidang Penataan Ruang, Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Perumahan Rakyat Provinsi Kalimantan Timur Nurani Citra Adran menegaskan secara umum menyampaikan bahwa Pemerintah Provinsi telah melakukan penyesuaian RTRW.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mempunyai beberapa kawasan strategis provinsi, dan telah berupaya melakukan penyesuaian melalui langkah-langkah bottom up dan top down.
“Pendekatan ini perlu dilakukan mengingat RTRW adalah kebijakan jangka panjang. Jika RTRW terlalu detail, ada dinamika perkembangan wilayah yang akan terhambat, sebab dinamika pembangunan berkembang lebih cepat daripada dinamika kebijakan,” terangnya.
Nurani menambahkan bahwa ada konflik tata ruang antara sektor perkebunan, pertambangan, dan kawasan hutan.
Terdapat hal positif yang dapat dicatat, bahwa sebelum dikeluarkannya KPPR, terlebih dahulu mendapatkan pertimbangan dari Forum Penataan Ruang, dimana ada perwakilan masyarakat di situ.
“Jadi ada ranah kebijakan yang masuk di sana, karena masyarakatlah yang tahu dengan wilayahnya sendiri. Ini adalah salah satu keuntungan dalam perizinan. Hanya saja sistem OSS harus diperbaiki,” jelasnya.
Dikusi diwarnai pandangan antara lain dari Seting (Aliansi Masryarakat Adat Nusantara), yang memohon perhatian & kesediaan untuk mendorong pengakuan masyarakat adat agar segera disahkan karena sudah hampir 14 tahun belum juga disahkan oleh DPR RI.
Disinyalir salah satu alasannya karena ada benturan kepentingan dengan UU CK yakni kepentingan ekonomi di satu sisi dengan kepentingan masyarakat adat di sisi yang lain.
Selama ini kawasan masyarakat adat dipandang sebagai kawasan kosong yang bisa diambil pemanfaatannya untuk kepentingan ekonomi.
“Walaupun ada proses, tetapi kecenderungannya ada modus dimana pendapat masyarakat dimanipulasi sehingga seolah setuju,” imbuhnya.
Diskusi yang berkembang menjadi catatan penting bagi Kementerian ATR/BPN dalam menyusun RTRW. Pernyataan ini disampaikan oleh Nuki Harniati selaku penanggap Direktur Perencanaan Tata Ruang Nasional, Kementerian ATR/BPN.
“Ruang bersifat terbatas, sedangkan yang mau menggunakan banyak. Ruang adalah rezeki yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk diambil manfaatnya agar aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Oleh karenanya tata ruang perlu diatur,” tegasnya.
Ditambahkan Nuki bahwa penyusunan RTRW melalui tiga proses. Pertama yakni proses teknokratis untuk menyiapkan konsep tata ruang.
Pada proses ini sangat diperlukan kontribusi pihak-pihak seperti DPD RI untuk menyusun konsep pengembangan wilayah ke depan sebagai konsep perencanaan tata ruang.
Proses kedua adalah proses untuk menampung partisipasi dari seluruh masyarakat. Proses terakhir adalah proses legislasi.
“Harapannya, proses-proses ini bisa menghasilkan RTRW yang berkualitas. Untuk itu perlu intensitas koordinasi antarstakeholders, mengingat masih banyak peraturan pemerintah yang bertentangan dengan RTRW,”jelasnya.
Pada kesempatan ini Nuki juga menginformasikan bahwa Pemerintah Pusat saat ini sedang melaksanakan kebijakan strategis yakni One Spatial Planning Policy atau kebijakan satu payung tata ruang, karena nantinya RTRW akan mengatur 4 matra yakni matra darat, laut, dalam bumi, dan udara.
Diskusi berjalan efektif dengan disampaikannya pandangan dari Anggota BULD yang hadir yakni Sinta Rosma Yenti selaku tuan rumah Anggota DPD RI Provinsi Kalimantan Timur, Destita Khairilisani (Bengkulu), Ahmad Bastian ST (Lampung), Darmansyah Husein (Kep. Bangka Belitung), Muhdi (Jawa Tengah), Abraham Liyanto (NTT), Habib Said Abdurrahman (Kalimantan Tengah), Yance Samonsabra (Papua Barat), dan Sopater Sam (Papua Pegunungan). (Rosa/Muhidin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar