Kemen PPPA Kawal Proses Hukum dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual Anak di Purworejo

Kemen PPPA Kawal Proses Hukum dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual Anak di Purworejo. (Dok. Kementerian PPPA RI/Istimewa)

Jakarta, WaraWiri.net - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) memastikan mengawal proses hukum dan pemulihan bagi korban dalam kasus kekerasan seksual terhadap DSA (15) dan KSH (16), di Purworejo, Jawa Tengah, Kamis (07/11/2024).

Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, sesuai arahan Menteri PPPA, Ibu Arifah Fauzi menyampaikan pihaknya telah berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengawal kasus kekerasan seksual yang melibatkan beberapa terlapor.

“Kemen PPPA telah berkoordinasi dengan UPTD PPA Provinsi Jawa Tengah, UPTD PPA Purworejo, dan aparat kepolisian dalam penanganan kasus ini. Koordinasi akan terus dilakukan untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan, pendampingan hukum, pemulihan psikologis, serta hak-haknya terpenuhi selama proses hukum berlangsung sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Nahar.

Nahar menegaskan pihaknya akan terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memastikan proses hukum berjalan adil dan sesuai aturan, serta memastikan bahwa korban menerima pemulihan yang layak dan perlindungan yang optimal. 

Belajar dari kasus ini Nahar juga minta para orangtua lebih memberikan pengasuhan dan perlindungan yang terbaik bagi anak. 

"Kasus kekerasan seksual pada anak yang masih banyak terjadi menjadi perhatian serius bagi kita semua, terutama bagi orang tua dan keluarga terdekat lainnya, untuk meningkatkan kewaspadaan dalam melindungi anak-anak. Anak-anak membutuhkan pengasuhan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga mencakup perlindungan emosional dan lingkungan yang aman. Keluarga terdekat anak juga dapat turut melakukan pengawasan dan melindungi mereka agar mereka tetap merasa aman, mendapatkan kasih sayang dan tidak terlantar," ujar Nahar.

Nahar mendukung upaya penyidikan aparat kepolisian yang saat ini masih berlangsung. Menurut Nahar, para terlapor dapat dijerat Pasal 76D jo Pasal 81 dan/atau Pasal 76E jo Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar. 

Selain itu, terlapor juga dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas, yang dikecualikan untuk Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH) berdasarkan Pasal 81 serta Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. 

“Selain Undang-Undang Perlindungan Anak, para terlapor juga dapat dikenakan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Tersangka yang diduga melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dapat dipidana hingga 12 tahun penjara atau denda paling banyak Rp300 juta,” ungkap Nahar.

Nahar menambahkan bahwa Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS menegaskan bahwa tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan, dan korban berhak atas restitusi serta layanan pemulihan sesuai Pasal 30 Undang-Undang tersebut. 

Untuk terlapor AKH, proses hukum akan mengikuti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). (Rosa/Muhidin)

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar







ADVERTISING

ADVERTISING