Jakarta, WaraWiri.net - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berhasil mengungkap 397 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan mengamankan 482 tersangka serta menyelamatkan 904 korban selama 22 Oktober hingga 22 November 2024.
Kabareskrim Polri Komjen Pol Wahyu Widada menegaskan, upaya ini bagian dari komitmen Polri dalam mendukung program Asta Cita ke-7 Presiden Prabowo Subianto yakni “Memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi, narkoba, judi, dan penyelundupan”.
Selain itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga menekankan kepada jajaran untuk memaksimalkan penangkapan para pelaku TPPO serta upaya untuk menyelamatkan saksi dan korban perdagangan manusia.
Komjen Wahyu mengatakan, TPPO merupakan kejahatan lintas negara yang terorganisir dengan melibatkan eksploitasi ekonomi terhadap manusia.
Menurutnya, para pelaku memanfaatkan kemajuan teknologi dan celah hukum, sehingga kasus eksploitasi terhadap manusia ini terus berkembang dan adaptif pada modus operandi untuk mengelabui para korban.
“Pemerintah telah memberikan perhatian serius terhadap bagaimana kita memberikan perlindungan kepada warga Indonesia, khususnya yang menjadi pekerja migran di luar negeri. Oleh karena itu, penindakan, pengamanan, dan pencegahan ini menjadi salah satu prioritas untuk melindungi segenap warga negara Indonesia,” kata Wahyu dalam konferensi pers yang terhubung secara daring dengan 34 Polda jajaran di Bareskrim Polri, Jumat (22/11/2024).
Dirinya menyatakan pemberantasan TPPO telah dilakukan secara masif pada tahun 2023 lalu. Wahyu juga mendapat instruksi langsung dari Jenderal Sigit agar penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan manusia terus ditingkatkan.
“Bapak Kapolri telah memerintahkan kepada saya langsung untuk melakukan penindakan penegakan hukum yang diawali pada bulan Oktober lalu. Pada tahun 2023, kegiatan penindakan TPPO ini juga cukup berhasil, dan beliau meminta supaya jangan kendor. Terus intensifkan penindakan terhadap para pelaku, karena kalau korbannya sudah ada di luar, kita sulit memberikan perlindungan dan sulit untuk menelusuri keberadaan mereka jika ke luar negerinya melalui jalur-jalur ilegal,” kata Wahyu.
Jenderal bintang tiga ini mengatakan, selama sebulan terakhir ini telah mengungkap 397 kasus.
Dari jumlah itu, pihaknya sudah menangkap 482 tersangka dan ada 904 orang korban TPPO yang terselamatkan.
Wahyu mengungkapkan berbagai modus yang dilakukan oleh para tersangka, yaitu mengirimkan Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara ilegal.
Para korban, sambungnya, diberangkatkan dengan visa yang bukan untuk bekerja, tanpa pelatihan, dan diberangkatkan oleh perusahaan yang tidak terdaftar.
Lebih lanjut, praktik kejahatan para sindikat ini juga menawarkan pekerjaan di luar negeri dengan gaji tinggi kepada para korban. Namun, setelah tiba di negara tujuan, korban ada yang dieksploitasi sebagai pekerja seks komersial (PSK).
“Modusnya menawarkan pekerjaan, tetapi setelah sampai di negara lain tidak dipekerjakan sesuai dengan apa yang dijanjikan. Bahkan ada beberapa pekerja kita yang dijadikan pekerja seks komersial. Mereka dipaksa menandatangani perjanjian jaminan utang seolah-olah mereka punya utang yang harus dibayarkan. Ini modus untuk mengikat mereka supaya mereka mau tetap bekerja. Paspor diambil dan berkas administrasi lainnya juga ditahan,” bebernya.
Wahyu juga mengungkapkan modus eksploitasi terhadap anak melalui aplikasi online untuk dipekerjakan sebagai PSK. Kemudian ada beberapa kasus anak di bawah umur juga dipekerjakan sebagai LC (Ladies Companion) di tempat-tempat hiburan malam di dalam negeri.
“Kemudian ada juga yang disalurkan ke negara-negara lain sebagai PSK. Mengimingi-imingi (anak-anak) gaji yang besar dipekerjakan di pabrik dan perkebunan secara ilegal di negara lain di Asia Tenggara,” imbuhnya.
Selain itu, modus TPPO lainnya yakni mempekerjakan anak buah kapal (ABK). Namun tanpa sepengetahuan, korban dipindahkan ke kapal yang lain. Hal ini, kata Wahyu, akan sulit bagi Pemerintah untuk mendeteksi keberadaan para korban.
“Mereka saat diberangkatkan tidak dibekali kemampuan maupun administrasi sebenarnya. Korban juga dipaksa untuk memenuhi target-target. Kalau tidak bisa memenuhi target, akan menerima konsekuensi berupa tindakan kekerasan dari para pelaku,” ujarnya.
Wahyu menegaskan dari sekian banyak pengungkapan kasus ini, untuk memberikan efek jera kepada para pelaku tindak kejahatan perdagangan orang, Polri akan menerapkan pasal berlapis, yaitu Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dengan pidana penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.
Lebih lanjut, Wahyu mengungkapkan bahwa sepanjang satu bulan terakhir ini ada tiga Polda yang pengungkapan kasus TPPO-nya cukup besar, yakni Polda Kalimantan Barat, Polda Kalimantan Utara, dan Polda Kepulauan Riau.
Dari pencapaian yang dipaparkan oleh para Direskrimum tersebut, para tersangka memanfaatkan panjangnya perbatasan Indonesia-Malaysia dan Indonesia-Singapura.
Para tersangka berusaha menyelundupkan para PMI nonprosedural ini melalui jalur-jalur tikus melalui jalur darat kemudian laut menggunakan kapal-kapal kecil.
“Rekan-rekan dari para tersangka memiliki peran yang berbeda-beda. Ada yang sebagai perekrut, penyalur, tempat penampungan, dan ada juga yang bertindak sebagai mucikari,” ucapnya.
Selain itu, dari pencapaian pengungkapan kasus TPPO ini, Polri berhasil menyelamatkan kerugian negara hingga Rp284 miliar.
Wahyu kembali menegaskan komitmen Polri untuk terus melakukan pemberantasan TPPO baik dari sisi pencegahan maupun penindakan hukum terhadap para pelaku.
“Kita juga melaksanakan langkah-langkah yang menjadi kantong massa tempat asal korban, titik-titik penampungan untuk kita analisa dan melakukan penegakan hukum,” tandasnya.
Wahyu juga mengatakan bahwa upaya yang dilakukan ini tidak akan berhasil tanpa bantuan stakeholder terkait, yakni Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, serta Kementerian Luar Negeri.
“Kami tidak bisa bekerja sendirian, karena dalam kegiatan pengungkapan ini tentu kita selalu bekerja sama dengan Kementerian P2MI, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, serta Kementerian Luar Negeri yang khususnya memberikan perlindungan warga negara kita yang berada di luar negeri,” tandas Wahyu.
Dalam konferensi pers tersebut, Bareskrim Polri juga mengundang perwakilan dari Kementerian P2MI/BP2MI, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. (Deni/Evi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar